Peneleh Kampungnya Tokoh Tokoh Legenda Pergerakan Indonesia
Senin, 10 Juni 2019
Edit
Orang Terpilih
Kampung Peneleh, atau Paneleh,
adalah kampung kuno yang menyimpan berjuta kisah dan cerita sejarah serta melahirkakn banyak tokoh legenda pergerakan indonesia. Di kampung
ini, Sunan Ampel pernah singgah dan berbagai tokoh pergerakan indonesia pernah
tinggal. Di kampung ini pulalah, sejarah Singosari dan Majapahit terekam dalam
senyap.
Nama Peneleh berasal dari kata penilih,yang artinya orang
terpilih. Kampung Peneleh yang sudah ada sebelum Raden Rahmat datang ini,
menurut Adrian Perkasa, sejarawan dan pengajar sejarah kuno Universitas
Airlangga, bahkan diperkirakan telah berdiri sejak zaman kerajaan Singosari.
Dalam memoarnya, Masa Kecilku di Surabaya (2003:83), Ruslan
Abdulgani, yang lahir dan besar di Plampitan, menyebutkan bahwa Raja Singosari
Wisnuwardhana menyuruh anak tertuanya menjadi kanuruhan (penguasa) Glagah Aroem
— antara Kali Mas Kali Pegirian — yang berpusat di Peneleh.
Di masa kolonial, Kampung Peneleh, menurut Adrian Perkasa,
menjadi solusi bagi kaum priyayi baru yang butuh pemukiman murah. Namun,
Kampung Peneleh bukanlah kampung priyayi pribumi. Bermacam kelas dan etnis ada
di sana. Entah pedagang atau kuli. Entah itu orang Jawa, Bali, Arab, maupun
Tionghoa.
Soal kepercayaan, Kampung Peneleh kini tidak hanya terdapat
orang-orang Islam saja. Setidaknya, di beberapa rumah, orang dapat dengan mudah
dapat menemukan perangkat upacara ala Hindu Bali di bagian depannya. Kondisi
ini rupanya berkaitan dengan sejarah kampung ini.
Di masa lalu, "Peneleh ini bukan kampung yang pribumi
thok (saja). Dari awal memang urban sebenarnya," tutur Adrian. Kampung
ini, lanjutnya, cukup bhinneka.
Tjokroaminoto si Raja
Jawa Tanpa Mahkota
Tjokroaminoto tinggal dan membuka rumah indekos. Bedanya,
para penghuni kamar indekos itu adalah orang-orang yang kelak jadi legenda. Ada
Soekarno, Tan Malaka, hingga Musso. Karena Tjokroaminoto adalah pentolan
Sarekat Islam, tak jarang rumah Tjokro didatangi banyak tokoh penting. Antara
lain Haji Agus Salim dan Kyai Haji Ahmad Dahlan.Sudah tentu, para macan pergerakan ini banyak membicarakan
soal politik. Sedangkan yang muda macam Sukarno mendengar dan belajar banyak.
Tjokroaminoto sering menulis untuk koran Oetoesan Hindia dari
rumahnya. Koran ini, seperti dicatat Seabad Pers Kebangsaan (2008:83), lahir
karena boikot para pedagang Arab dan Indonesia. Dalam boikot yang terjadi pada
Februari 1912 itu, mereka tidak mau memasang iklan di koran-koran milik
Tionghoa.
Dalam hal persuratkabaran, orang-orang Tionghoa cukup maju
di zaman kolonial. Para pedagang Islam itu sadar jika meraka harus punya koran
sendiri. Maka di bawah komando Hasan Ali Soerati, NV Handel Maatschkappij
Setija Oesaha Soerabaia berdiri, dengan modal sebesar 50 ribu gulden hasil
patungan dari pedagang Islam di Semarang, Pekalongan, Batavia, dan Bandung.
Pemilik modalnya kebanyakan pegiat Sarekat Islam. Semula,
Tjipto Mangoenkoesoemo akan digandeng untuk menjadi pimpinan redaksi di koran
mereka, namun karena Tjipto sibuk dengan dengan De Express yang dipimpin Douwes
Dekker di Bandung, jadilah Tjokroaminoto yang direkrut. Setelah Hasan Ali
Soerati mundur, Tjokroaminoto jadi orang penting di Oetoesan Hindia dan juga
Setia Oesaha.
Oetoesan Hindia yang terbit lima kali seminggu ini sudah
tentu akhirnya jadi corong dari Sarekat Islam. Harga berlangganannya: 20 gulden
setahun. Ongkos iklan minimum yang dikenakan : 2,5 gulden. Meski semula anti
Tionghoa, namun banyak orang Tionghoa pasang iklan di koran ini. Soal isi, koran
ini begitu garang kepada negara kapitalis besar. Dalam Perang Dunia I, koran
ini cenderung berpihak kepada Jerman dan sekutunya.
Kantor Oetoesan
Hindia, menurut Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku (1983:113),
berada di daerah Sasak, yang merupakan pemukiman Arab di Surabaya. Pada 1918,
Tjokroaminoto sudah punya mobil bermerek Overland. Dari pagi hingga sore
bekerja di sana dan makan siangnya diantar dari rumah Paneleh.
Menurut Adrian Perkasa, sejarawan dan pengajar sejarah kuno
Universitas Airlangga, dari Paneleh gang VII itu, Tjokroaminoto juga bekerja
untuk meramaikan koran Oetoesan Hindia. Dia menulis dari rumahnya yang ramai
oleh anak-anak kos itu. Tak hanya Tjokro saja yang menulis di rumah. Anak
kosnya yang terpelajar pun juga ikut menulis. Betapa pentingnya Paneleh sebagai
pemasok energi untuk Oetoesan Hindia.
“Aku pun menulis untuk surat kabar Pak Tjok, Oetoesan
Hindia, karena tidak mungkin masuk sekolah Belanda sambil menulis artikel yang
menganjurkan penggulingan pemerintah Belanda,” aku Sukarno dalam
autobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011:58). “Aku memilih
Bima, yang berarti prajurit besar, juga memiliki arti keberanian dan
kepahlawanan. Aku menulis lebih dari 500 artikel.”
Selain Tjokro dan Sukarno, penulis lain adalah Tirtodanudjo,
Samsi dari Semarang, Abdul Muis si penulis novel legendaris Salah Asuhan, Haji
Agus Salim yang sangat berpengaruh di Sarekat Islam, Wignyodisastro,
Surjopranoto si raja mogok, dan tokoh pergerakan lainnya. Dari senarai penulis
di sana, maka bisa dibayangkan betapa kuatnya koran ini. Sayang, Oetosan Hindia
tutup ketika Sarekat Islam dalam kemelut dan Tjokro dalam penahanan oleh
pemerintah kolonial.
Oetoesan Hindia boleh tamat riwayatnya, tapi para penulis
tidak berhenti bergerak. Beberapa tahun kemudian, lahirlah koran baru yang
bernapas sama. “Kira-kira sekitar tahun 1926 - 1928, ayah memimpin surat kabar
harian yang bernama Fadjar Asia,” aku Harsono Tjokroaminoto. Di masa-masa ini,
keluarga Tjokroaminoto sudah pindah dari Jalan Peneleh, dan tinggal di
Plampitan.
Di masa-masa ini Tjokroaminoto punya murid baru yang mantan
siswa sekolah kedokteran, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Dia masih terhitung
keponakan Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis menyebalkan bagi pemerintah
kolonial. Kartosuwiryo ikutan di Sarekat Islam, di masa-masa Sukarno fokus
kuliah lalu membangun Partai Nasional Indonesia (PNI). Kartosuwiryo di zaman
Jepang ikut Masyumi dan kemudian dia dikenal sebagai pemimpin Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Setelah koran ini tak hidup lagi, Kampung Peneleh tetaplah
kampung pergerakan nasional juga. Setidaknya, keluarga Tjokroaminoto
bertetangga dengan anggota Sarekat Islam lain di Plampitan, Haji Abdul Gani,
seorang pemilik warung yang cukup besar.
Tentu saja ada Abdul Gani lain, yakni Ruslan Abdulgani
namanya, anak Abdul Gani alias Doel Gani. Waktu Sukarno tiba lagi di Peneleh
untuk kos di rumah Tjokro, Ruslan baru berusia 2 tahun. Rumah Ruslan terletak
di Jalan Plampitan VIII nomor 34. Tidak begitu jauh dari rumah Tjokro, hanya
beda gang saja. Ruslan berasal dari keluarga pedagang. Kata Ruslan Abdulgani,
seperti diceritakannya dalam memoarnya, Masa Kecilku di Surabaya (2003:11),
Sukarno pernah mengutang rokok dan barang lainnya di toko ayah Ruslan.
Di sebelah rumah ibu Ruslan tinggalah seorang penjahit
bernama Achmad Jaiz. Dia penjahit terkenal dan punya banyak pelanggan Belanda.
Rumah Achmad Jaiz bersebrangan dengan mushalla, dan dia pun merupakan bagian
kaum pergerakan.
“Pak Jaiz juga masyhur sebagai orang yang berani menentang
aliran Islam kolot, dan merupakan salah satu pendukung PBI (Persatuan Bangsa
Indonesia) yang kemudian menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan
Dokter Soetomo,” aku Ruslan Abdulgani (2003:10). Achmad Jaiz pernah menantang para
pemuka agama di Masjid Peneleh untuk tidak khotbah dalam bahasa Arab dalam
karena tidak dimengerti masyarakat setempat.
Sebagai tokoh masyarakat, Achmad Jaiz terus
dikenang. Kini ada jalan yang bernamanya dirinya, melintasi kawasan Plampitan,
Paneleh dan Pandean. Kawasan tua ini pula dialiri Kali Mas—salah satu sungai
yang ikut membelah kota Surabaya. Ketika dikejar-kejar aparat kolonial, Sukarni
juga pernah melintasi kampung Plampitan. Setelah Sukarni buron, kepemimpinan
Indonesia Moeda jatuh ke tangan anak Plampitan, Ruslan Abdulgani.
Related Posts